Sipir Penjara itu Tukang Pungli , orang miskin yang berseragam. Tidak punya malu ..
**
“Ingat nak, kamu jangan pernah memukul tahanan.” Ucap mamak, ketika aku menceritakan padanya insiden di kantor tadi. “mereka juga manusia . Tidak berhak diperlakukan semena-mena.”
Aku duduk diam memandang segelas kopi panas untuk menghilangkan sakit kepalaku.
“Bayangkan jika ada anggota keluargamu yang dipukul “ mamak melanjutkan nasihatnya sambil menyetrika. “Berbuat baiklah kepada sesama, apalagi mereka yang sedang dalam kesusahan. Tuhan sudah memberimu rezeki pekerjaan sebagai petugas Penjara, gunakan dengan baik.”
***
“Jef, Tujuh tahun sudah aku ini bekerja sebagai Petugas penjara” ucapku pada Jefry wirantono. Sore itu kami duduk di warung kopi sepulang shift pagi. Jefri adalah teman baik dari aku kuliah dan berprofesi sebagai wartawan di Tanjung Karang Post. ”Pekerjaan ku ini tidak banyak diketahui masyarakat secara jelas.”
‘Maksudnya?” Jefri mengernyit .
“Masyarakat masih menyebut kami SIPIR, di identikkan pada tukang pukul, memakai pentungan dan bersikap barbar” Ku seruput kopi, Jefri terkekeh. “Loh bener, Sipir itu adanya di jaman batu, kini namanya Petugas penjara ,dan tidak semua dari kami Tukang Pukul danTukang Pungli.”
“Lalu hubungannya dengan pekerjaanku sebagai wartawan apa toh ?” ia menggaruk-garuk kepala. “ Tadi kau bilang ini gara-gara profesiku”.
“Pekerjaanmu Jef, ada andil pada anggapan masyarakat. Pemberitaan media yang membuat anggapan masyarakat menjudge kami semua sama buruknya” Jefri menaikkan alis mata kirinya,. “Ketika ada prestasi menggagalkan penyelundupan narkoba , pemberitaannya tidak akan sehebat dan seramai jika ada petugas penjara yang telibat pungli atau narkoba. Benar kan?”
“Tapi Sop. Kalau tadi kau bilang hanya sebagian oknum yang melakukan pungli, bagaimana jika aku bilang sebagian saja wartawan yang suka mengeksploitasi berita negatif? Bagaimana menurutmu? Lagian kenapa terlalu memikirkan anggapan orang ?”
***
“Saya di bilang pengecut, Mak.”
“Oleh siapa?”
“Sama beberapa teman kantor, karena ga pernah mukul tahanan”
“Loh kok lucu,” mamak menengok padaku sambil memberi makan ayam bangkok peliharaan Bapak, “Memukul seseorang kok dianggap jagoan.”
“Ya gitu deh mak,” aku menimpal, “Apalagi yang dipukul tahanan yang notabene tidak akan melawan karena ia tau kalau melawan maka ia akan dihukum dan pasti kalah.”
“Nah itu kamu faham,” Mamak mengusap2 kepala ayam bangkok bernama Japri itu. ‘Tapi kamu tau siapa sebenarnya yang jagoan dan siapa yang pengecut?”
‘Siapa mak?”
“Jagoan itu mukul preman di pasar. Pengecut itu mukul tahanan di penjara.”
“Hmm…” Aku berfikir sambil menutup pintu kandang japri. ‘Pintar juga mamak ini.”
***
“Ada Tahanan baru tuh , kasus Undang Undang Perlindungan Anak. Habisin aja.” Tommy menepuk bahuku ketika kami piket siang. Jam menunjukkan pukul 16.00 WIB dan terlihat beberapa tahanan baru di depan.
Sorak sorai para tahanan dan narapidana yang berada di dalam blok bergema ketika tahanan baru tersebut di bawa ke dalam. Walau mereka sesama masyarakat yang bermasalah dengan hukum, yang tertuduh kasus pencabulan dibawah umur atau sodomi atau pemerkosaan akan selalu mendapat sambutan yang ramai disini.
“Saya memang make narkoba pak, tapi lebih baik narkoba daripada pencabulan !”
“Potong saja pak kemaluannya, bayangin kalau kelurga kita yang jadi korban pak”
“Habisin pak !”
Teriakan teriakan memekakkan telinga ketika aku berjalan untuk memeriksa kondisi dan barang bawaan tahanan tersebut. Mukanya yang pucat pasi karena takut menunduk tak berani melihat. Sementara suara-suara teriakan masih berkobar di belakangku.
“Siapa nama kau” aku bertanya cepat. “Jangan menunduk”
“Untung , pak” ia menjawab pelan , menegakkan kepala tapi pandangan menunduk.
“Kasus apa?” Kubuka satu persatu untuk memastikan tidak ada senjata tajam atau barang terlarang lainnya yang ia bawa.
“Di bawah umur pak,”
“Di bawah umur apa? yang jelas.” Selesai memeriksa barang aku lanjutkan mengecek badannya, terkadang tahanan suka menyelipkan sesuatu di saku bahkan di celana dalam.
“Bawa lari anak di bawah umur pak.”
“Usia berapa yang kau bawa lari, siapa nya kamu. Kau bau sekali , gak mandi kau ?”
’Enggak pak. Ga ada air di kantor polisi. 16 tahun , pacar saya pak.” Jawabnya mencerocos.
Aku menengok ke belakang, tahanan-tahanan di blok masih bersorak-sorai, dua orang petugas Penjara berdiri menunggu. Aku kembali memandang Untung , jika aku bawa kesana bisa-bisa ia dikerjai, jika tidak maka aku yang akan diejek.
Ah persetan, aku mengaitkan HT “Angkat barang-barangmu, kita ke blok Mapenaling sekarang”
***
“Hey Sop !” Tommy memanggilku ketika aku berjalan untuk menaruh HT sebab jam piket sore akan segera selesai. Tommy adalah salah satu Petugas yang suka ‘jahil’ dan tadi sore ikut menunggu .”Tadi kenapa gak di bawa ke dalam dulu si kasus cabul ?”
“Gak apa apa, supaya lekas beres aja kerjaan” jawabkus sambil mengurut pelan tengkuk.
“Sudah kami tunggu, harus dikasih pelajaran kalau kasus seperti dia itu. Ah payah kau”
“Pelajaran apa Tom, gak cukup dia dipenjara?”
“Mana cukup, dia mencabuli di bawah umur ! gimana kalau itu adikmu, atau kerabatmu?”
“Bagaimana kalau Untung itu adikmu, atau kerabatmu? Kau mau dia digebukin padahal dia sedang menjalani proses peradilannya?”
“Payah kau”
“Sudah ada hukum, jangan pakai hukum rimba. Kita bukan Algojo” Aku meninggalkan Tommy yang sibuk mencerocos.
***
Dua hari kemudian, selesai sholat maghrib.Tiga puluh menit lagi menuju jam tujuh malam berakhirnya jam piket siang. Duduk bersama Tommi dan Siam, di selasar kantor sambil memakai sepatu boot PDL yang beratnya seberat gambreng. Kami sedang berbincang ketika kudengar suara orang berbincang bincang di pintu utama.
“Siapa vid?” aku melongok, melihat seorang wanita dan pria separuh baya berdiri berbincang dengan David yang bertugas sebagai penjaga Pintu Utama atau P2U.
“Ini bang , orang tua dari tahanan. Mau besuk tapi kan sudah jam segini.”
Aku beranjak bangun dan berjalan menuju mereka. “Selamat malam bapak, ibu” Aku tersenyum menyapa. “Ada yang bisa kami bantu ?”
Si ibu yang berkerudung lusuh berbicara terbata, “kami mau jenguk anak kami, tapi sudah kemalaman.”
“Siapa anaknya bu? Kasus apa?”
“Untung prihatna , pak.. Kasusnya..” Si ibu berhenti bicara lalu memandang lelaki di sebelahnya “kasus dibawah umur pak.”
“Oh Untung, iya saya faham kasusnya Bu” aku tersenyum.
“Kami dari Jabung”. Ucap pria tersbeut. Jabung adalah sebuah kampung yang berada di lampung Timur, 3 jam perjalanan dari sini. “Kami baru berangkat siang karena pagi berjualan dulu,”
“Naik apa pak?”
“Naik motor”
“Motor?” aku terkejut, waw. Melihat penampilan mereka yang lusuh dan barang bawaan yang berantakan. “Ga capek Pak?”
“Capek nak, tapi mau gimana lagi. Kami khawatir dengan Untung, obatnya habis.”
“Oh untung sakit ?”
“iya nak, dia suka muntah darah. Sudah dua hari dia tidak minum obat”
Aku jelaskan kepada mereka bahwa jam kunjungan hanya sampai jam empat sore. Malam begini tidak ada lagi Blok yang bisa dibuka untuk mengeluarkan tahanan.
“Kalau begitu besok saja pak kami besuk lagi, “
“Kalau makanan bisa kami antarkan ke kamar untung malam ini”
“Oh bisa nak? Alhamdulillah. Saya sudah khawatir dia kumat dan basi makanannya.” Si Ibu menarik nafas lega.
“Ada obatnya bu?
“Ada nak,Obat yang biasa ia minum sudah kami cari di apotek-apotek,tapi tidak ada. Jadi kami beli obat yang lain “
Aku memandang Tommi dan David, sementara Komandan sedang di dalam blok, seharusnya aku melaporkan padanye terlebih dahulu. Tapi jika bertanya kepada Komandan kemungkinan besar akan di larang karena prosedur obat yang akan masuk harus diperiksa oleh perawat terlebih dahulu.
“Kalau obatnya menunggu besok bagaimana Bu? Perawatnya sedang tidak ada” Tommi mencolek punggungku memberi kode.
“Takut terjadi sesuatu nak dengan untung,” ibu berbicara gemetar menahan tangis, ‘tolonglah nak, obat ini sama saja dengan yang biasa ia minum”
Hmm….” aku berfikir menimang-nimang obat yang berada di tanganku, melirik pada Tommi yang menggelengkan kepala. ‘Baiklah. Makanan dan obat ini akan kami berikan malam ini”
“Terimakasih nak..” Bapak si untung berucap pelan, mengusap usap bahu istrinya.
“Bapak ibu mau menginap dimana malam ini?” Aku memeriksa bungkusan makanan dan obat yang mereka bawa.
‘Tidak pak, kami menginap di depan saja. Ada gubuk di depan ,” ujarnya, “biar kami menginap disana saja,”
Aku terdiam, di depan memang ada gubuk tanpa dinding tempat petani beristirahat saat siang. “Jangan pak, banyak nyamuk disana.Kalau bapak Ibu mau bisa menginap di rumah saya saja.”
‘Masya Allah , jangan nak. Merepotkan saja nanti” Si Bapak menolak pelan,
“Tak apa apa pak, tidak begitu jauh dari sini, 15 menit naik motor, Sepuluh menit lagi saya selesai piket, Bapak ibu tunggu di depan yah.”
***
“Kau yakin mereka menginap di rumah kau?” Tommy menatapku heran tak lama setelah Bapak dan Ibu itu keluar dari Pintu untuk menunggu di pintu depan. “Siapa tau mereka maling barang-barang di rumah saat kau tidur. Dan ditambah anaknya ada penyakit muntah darah, jangan jangan bisa menular nanti.”
Aku diam, menengok pada Tommy. “Tom, ada tiga hal. Pertama Anak mereka di tahan , kedua Aku petugas penjara di tempat anaknya ditahan, ketiga aku memberi mereka tempat menginap. Masa mereka mau bebruat seperti itu?”
“Siapa tahu kan? Aku curiga jangan jangan kau berharap mereka memberimu uang untuk menginap di rumah kau”
“istighfar Tom.” Aku berbicara tegas. “istighfar.”
***
“Sop. Ke kantor sekarang “ Telepon mengejutkan dari komandan Regu, ku lihat jam menunjukkan pukul satu pagi.
‘Kenapa Dan?”
”Ada tahanan kolaps. Si Untung”
**
“Diagnosanya apa Dok?” aku bertanya pada Dokter Jaga IGD Rumah Sakit.untung sudah berada di dalam. Di sudut koridor Ibu nya menangis keras sementara suaminya mencoba menenangkan.
“Belum diketahui pasti, masih dalam pemeriksaan” Dokter berkacamata itu melangkah tergesa. Meninggalkan aku dan beberapa Petugas RUTAN lainnya duduk menunggu informasi lebih lanjut.
“Sop!” Tommi berjalan tergesa dari selasar langsung menujuku, Ia berbisik . “ini gara-gara kau. Kau yang kasih izin obat itu diserahkan ke dia. Harusnya obat itu diperiksa dulu oleh Perawat.”
“Astaghfirullah Tom” aku membelalak, “Kau tak dengar tadi ibu nya bilang apa? Anaknya muntah darah dan sudah kambuh. Kalau menunggu Perawat ya masih menunggu besok pagi. Dan hasil dokter belum tentu karena obat yang dia konsumsi”
“Kalau sampai dia meninggal dan hasil diagnosa karena salah minum obat. Mati kita satu Regu.” Tommi berjalan meninggalkan aku sambil membuang puntung rokoknya.
“Insyaallah bukan.” Aku berbisik pelan. Omongan Tommi tadi membuatku pusing, jika benar apa yang ia takutkan maka kami semua yang piket sore saat itu akan menjalani pemeriksaan, dan jika terbukti maka pemberitaan negatif pasti akan ada dimana-mana, tak luput Kepala kantorku, Pejabat yang berwenang, aku dan komandan akan mendapat Hukuman Disiplin.
***
‘Sop !” Pak Hendrik memanggilku, dia adalah Pejabat yang menjabat sebagai Kepala Kesatuan Pengamanan di kantor. Pejabat yang bertanggung jawab atas keamanan ketertiban dan kejadian lain di blok tahanan.
Mati aku.. pasti masalah obat itu lagi.
“Siap pak,”
“Benar kau yang izinkan obat itu diserahkan ke anaknya?”
“Benar Pak.” Aku tidak melanjutkan kata-kata, tidak tau harus berkata maaf atau kata lain.
“Kau tau itu salah?
“Siap, tau pak.” Aku membalas cepat menatap Pak hendrik yang memelototiku. Suara tangis ibu itu dna tangisan keluarga pasien lain terdengar dimana-mana.
“Kenapa masih kau izinkan? Kaupun tidak laporan ke Komandan? Kenapa?”
“Izin menjelaskan pak”
“Ya,”
“Saya tidak tega pak. Dengan Untung dan kedua orang tuanya. Mereka sudah jauh-jauh datang tiga jam perjalanan , tiba di kantor magrib dan tidak bisa bertemu untuk memberi makanan dan obat. Jika saya laporkan komandan pasti akan ditolak menunggu esok hari saat ada perawat. Dan mereka berdua mengkhwatirkan Untung karena obatnya sudah habis dari dua hari yang lalu.” Aku berhenti sejenak, mencoba melihat reaksi pak hendrik.
“Jadi saya berinisiatif agar obat itu masuk, karena saya fikir obat itu tidak berbahaya.”
“Hmm.” Pak hendrik mengancingkan jaketnya. “kau tau bahwa kita belum mengetahui secara pasti apa penyakit yang bersangkutan. Tidak bisa sembarang memberikan obat. Ya sudah, semoga hasil pemeriksaan tidak seperti yang kita khawatirkan. Jika terjadi, habislah kita”
**
Di kondisi begini, terngiang-ngiang nasihat mamak.
“Berbuat baiklah kepada sesama, apalagi mereka yang sedang dalam kesusahan”
***
“Ini bu, dimakan. Supaya ga kembung” aku sodorkan dua bungkus nasi panas lauk tempe goreng. “Bapak ibu pasti capek tadi perjalanan jauh dan malam ini begadaag di rumah sakit.. Minumnya ini ada air hangat.” Aku meletakkan dua bungkus plastik berisi air hangat.
‘Terimakasih, nak” Ibu untung menyeka air matanya. “ibu khawatir karena obat yang ibu beri tadi sehingga untung jadi begini”
‘Semoga bukan bu.” Aku menepuk nyamuk di tengkuk. “Semoga Untung lekas pulih”
“Amin nak. Ibu buka ya nak nasi nya”
“Ya bu. Ayo pak dimakan.” Aku membukakan nasi bungkus yang kedua lalu kusodorkan kepada pria yang tampak lelah namun mencoba kuat itu.
“Kami berterimakasih ,..” ia berkata sambil menunduk, “Anak sudah mengijinkan obat kami walau dilarang, tadi kami mendengar pembicaraan kalian.”
“Tidak apa-apa Pak, itu hanya dugaan. Semoga bukan itu yang terjadi” aku memperhatikan wanita yang kelelahan di depanku ini yang mencoba menelan nasi sambil menahan tangis.
“Nak sopi tidak pulang?”
“Tidak pak, saya disini saja, temani bapak ibu sambil menunggu perkembangan Untung”
***
Esok hari setelah malam yang tak ada tidur karena nyamuk menggempur dan fikiran yang tidak tenang, Dokter memanggil kami. Refleks aku mengikuti kedua ornag tua untung ke ruang Dokter.
“Bagaimana kondisinya, Dok?” kami tak sabar bertanya.
“Tadi malam untung sama sekali tidak sadar. Tekanan darahnya tinggi sekali.”
“Ya dok. Bagaimana kondisinya dok” kami mengulang pertanyaan yang sama.
“Saraf vagus yang terhubung ke pencernaan ke otak dan mempunyai fungsi mengelola aliran darah ke otak dan usus mengalami gangguan. Hal ini bisa disebabkan stres berat, ketakutan, kecemasan, panik dan rasa sakit.”
“Bagaimana kondisinya dok” Aku bertanya cepat.
“Membaik. Tekanan darahnya sudah turun dan mulai stabil. Kita harapkan kondisinya terus mengalami perkembangan yang positif.’
‘Alhamdulillah ya Allah..”
“Kalau boleh tau, Dia drop bukan karena salah obat Dok?” Aku bertanya was-was.
“Sepertinya tidak. Sampai saat ini belum ada indikasi keracunan obat. Justru beruntung tadi malam ia sempat mengkonsumsi obat, jika tidak mungkin kondisinya bisa lebih buruk dari yang sekarang.”
***
Alhamdulillah. Bernafas lega. Terimakasih Tuhan.
Menangis tersedu-sedu membaca nya …. pasti ny ini baru segelintir cerita tentang penghuni dan pegawai dalam kehidupan dibalik jeruji … semoga akan muncul cerita nyata lainnya yang bisa mengedukasi kami yang hanya mengetahui dari cerita analisa dan tebakan saja …
Terima kasih untuk berbagi cerita nyata ini ….
Mamak…. Pelajaran tentang hidup untuk menjadi manusia yang memanusiakan , …. Semangat pi…🙏🙏🙏
Mamak itu malaikat saya
Keren
Penuh pelajaran baik yg bisa diambil hikmahnya dan yg buruk dijadiin pengingat.
Berdamailah dengan hidup apapun yg akan kau lalui karena semua itu takdir